Bisnis.com, JAKARTA – Harga tembaga terus melanjutkan penguatan seiring dengan prospek kejelasan stimulus ekonomi AS dan perbaikan permintaan terhadap komoditas ini tahun depan.
Dilansir dari Bloomberg pada Senin (7/12/2020), harga tembaga pada Jumat (4/12/2020) pekan lalu sempat naik hingga 1,3 persen ke level US$7.774 per metrik ton, atau catatan tertinggi sejak Maret 2013 lalu di London Metal Exchange (LME).
Sementara itu, harga tembaga pada London Metal Exchange hingga Senin siang terpantau pada US$7.760,50 per ton atau menguat 1,12 persen dibandingkan penutupan pekan sebelumnya.
Harga tembaga menunjukkan tren penguatan paling tajam dalam 10 tahun setelah China meningkatkan permintaan dan adanya gangguan pasokan pada awal pandemi virus corona. Harga tembaga telah melesat lebih dari 75 persen dari posisi terendah pada Maret 2020 lalu.
Sejumlah pihak pun memperkirakan tren positif ini akan berlanjut seiring dengan melemahnya dolar AS, proyeksi naiknya inflasi, serta positifnya rencana pencairan stimulus. Prospek munculnya stimulus fiskal dari AS kian jelas setelah kabar stimulus tersebut akan dikeluarkan menjelang pergantian tahun.
Hal tersebut terjadi setelah rencana bersama dari kompromi Partai Republik dan Partai Demokrat. Di sisi lain, negara-negara Eropa juga mulai menggenjot program vaksinasinya. Pemulihan ekonomi yang didukung vaksinasi Covid-19 diperkirakan ikut meningkatkan permintaan ke level tinggi.
Head of Metals Research Bank of America Michael Widmer mengatakan, saat ini sentimen yang mempengaruhi reli harga tembaga sepenuhnya ditopang oleh makroekonomi.
“Faktor ini semakin meluas hingga mencapai para investor,” katanya dikutip dari Bloomberg.
Di sisi lain, kondisi fundamental komoditas ini juga dinilai menjadi salah satu penopang kenaikan harga. Kekhawatiran pelaku pasar terhadap pasokan yang minim seiring dengan kemunculan vaksin virus corona dan pemulihan permintaan dari China juga ikut mendorong harga tembaga.
CEO Antofagasta Plc, perusahaan pertambangan asal Chile, Ivan Arriagada mengatakan, hal-hal tersebut adalah faktor-faktor yang sangat menguntungkan dari sisi harga. Permintaan dari China juga dinilai menunjukkan penguatan yang stabil.
“Kami memperkirakan pasokan tembaga global akan mengalami sedikit defisit pada tahun depan,” katanya.
Data dari Biro Statistik China menunjukkan, indeks manufaktur (Purchasing Managers Index/PMI) China berada di posisi 52,1 pada November lalu berbanding 51,4 pada Oktober 2020. Angka tersebut merupakan perolehan tertinggi yang pernah didapat China dalam tiga tahun terakhir.
Senior Asset manager RJO Futures John Caruso menambahkan, reli harga tembaga dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yakni infrastruktur, prospek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya, serta permintaan dari China.
Ia menjelaskan, komoditas tembaga akan memainkan peranan penting dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga surya. Selain itu, Presiden Terpilih AS, Joe Biden, juga berencana untuk menggenjot pembangunan infrastruktur AS yang akan berimbas pada kenaikan permintaan tembaga dari AS.
Adapun Caruso memprediksi reli harga tembaga akan berlanjut hingga semester I/2021 mendatang. Meski demikian, Caruso menilai pergerakan harga tembaga saat ini melonjak terlalu jauh dan terlalu cepat.
“Kemungkinan harga tembaga akan kembali terkoreksi dalam dua pekan mendatang,” katanya.